Ads block

Banner 728x90px

BAB V Meneladani Peran Ulama Penyebar Ajaran Islam di Indonesia (Walisongo dan K.H. Hasyim Asy‘ari)


 





Pendahuluan: Ulama dan Dakwah di Nusantara

1.1 Pengertian Ulama

Kata ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari ‘alim yang berarti “orang berilmu”. Dalam konteks Islam, ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menjadi teladan dalam ilmu, akhlak, dan perjuangan menegakkan ajaran Islam.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.”
(QS. Fathir [35]: 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa ulama sejati bukan hanya cerdas dalam ilmu, tetapi juga memiliki ketakwaan yang tinggi.


1.2 Peran Ulama dalam Penyebaran Islam

Ulama memiliki peran penting dalam menyebarkan ajaran Islam, mendidik umat, dan membangun peradaban Islam di Indonesia. Sejak abad ke-13, para ulama dan dai telah memperkenalkan Islam melalui pendekatan damai, pendidikan, perdagangan, dan budaya lokal. Mereka tidak hanya berdakwah di masjid, tetapi juga di tengah masyarakat, menyesuaikan dengan adat dan bahasa setempat agar Islam mudah diterima.


Dakwah Walisongo: Pelopor Islamisasi di Nusantara

2.1 Siapa Walisongo?

Walisongo (sembilan wali) adalah sembilan tokoh ulama besar yang menjadi pelopor penyebaran Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15 hingga 16 Masehi. Mereka dikenal sebagai pendakwah yang bijak, sabar, dan cerdas dalam menggunakan media dakwah.

Nama-nama Walisongo yang terkenal antara lain:

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Sunan Drajat (Raden Qasim)

Sunan Giri (Raden Paku)

Sunan Kudus (Ja‘far Shadiq)

Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Kalijaga (Raden Said)

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)


2.2 Metode Dakwah Walisongo

Keberhasilan Walisongo tidak lepas dari metode dakwah yang santun, kreatif, dan sesuai dengan kondisi masyarakat Jawa kala itu.
Beberapa metode yang mereka gunakan antara lain:

Pendekatan budaya: melalui kesenian, wayang, gamelan, dan tembang Jawa.

Pendidikan: mendirikan pesantren dan madrasah sebagai pusat ilmu agama.

Perdagangan dan sosial: membangun jaringan ekonomi dan membantu masyarakat miskin.

Teladan akhlak: menunjukkan kejujuran, keramahan, dan kepedulian sosial.

Mereka tidak memaksakan Islam, tetapi mengislamkan tradisi dengan nilai-nilai tauhid dan moral Islam.


2.3 Contoh Keteladanan Beberapa Walisongo

a. Sunan Kalijaga: Dakwah melalui Budaya

Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang sangat dekat dengan masyarakat Jawa. Ia berdakwah lewat seni dan budaya, seperti wayang kulit dan tembang Jawa, dengan menyisipkan nilai-nilai tauhid, akhlak, dan amar ma’ruf nahi munkar.
Sikapnya yang toleran dan bijak membuat ajaran Islam diterima dengan damai. Ia mengajarkan bahwa dakwah harus sesuai dengan budaya lokal selama tidak bertentangan dengan syariat.

b. Sunan Giri: Tokoh Pendidikan dan Pemimpin Umat

Sunan Giri dikenal sebagai pendidik dan pemimpin yang mendirikan Pesantren Giri di Gresik. Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Dari pesantren ini lahir banyak ulama yang melanjutkan dakwah Islam.
Beliau juga dikenal sebagai ulama yang tegas dalam akidah dan adil dalam memimpin, menjadikan Giri sebagai pusat penyebaran Islam di Indonesia bagian timur.

c. Sunan Kudus: Dakwah dengan Sikap Toleran

Sunan Kudus berdakwah di daerah Kudus dengan pendekatan penuh toleransi terhadap masyarakat Hindu-Buddha. Ia melarang umat Islam menyembelih sapi sebagai bentuk penghormatan terhadap kepercayaan masyarakat sekitar.
Sikap bijaksana ini mencerminkan nilai tasamuh (toleransi) dalam Islam, yang menjadi contoh penting dalam kehidupan beragama di Indonesia.


Pengaruh Walisongo terhadap Masyarakat Nusantara

3.1 Islamisasi yang Damai

Metode dakwah Walisongo yang damai menjadikan masyarakat Jawa menerima Islam tanpa peperangan. Mereka berhasil mengubah pola pikir masyarakat dari kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha menuju tauhid Islam.

Islam tidak datang sebagai pemaksa, tetapi sebagai pencerah. Nilai-nilai Islam diserap ke dalam budaya lokal, seperti tradisi slametan, selametan bayi, tahlilan, dan kesenian daerah yang diisi dengan pesan moral Islami.


3.2 Peran Walisongo dalam Pendidikan dan Sosial

Walisongo mendirikan pesantren, masjid, dan lembaga sosial yang menjadi pusat pembinaan masyarakat. Mereka mengajarkan baca tulis Arab, tafsir, fikih, dan akhlak, serta memperkenalkan sistem ekonomi Islam dalam perdagangan.

Dengan demikian, Walisongo bukan hanya pendakwah, tetapi juga pendidik, pemimpin, dan pembaharu masyarakat. Peran mereka menjadi dasar lahirnya tradisi pesantren yang berkembang pesat hingga kini.


Peran Ulama Modern: K.H. Hasyim Asy‘ari

4.1 Profil Singkat K.H. Hasyim Asy‘ari

Kyai Haji Hasyim Asy‘ari lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tahun 1871. Ia adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Beliau belajar di berbagai pesantren dan pernah menuntut ilmu di Makkah.

K.H. Hasyim Asy‘ari dikenal sebagai ulama besar, pejuang kemerdekaan, dan pendidik bangsa yang menanamkan semangat keislaman dan keindonesiaan.


4.2 Kiprah dalam Pendidikan

Pada tahun 1899, beliau mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang, yang menjadi pusat pendidikan Islam modern. Melalui pesantren ini, beliau menanamkan nilai:

Keikhlasan dalam beramal,

Semangat mencari ilmu,

Kedisiplinan dalam beribadah,

Dan cinta tanah air sebagai bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).

Pesantrennya melahirkan banyak tokoh nasional dan ulama besar di Indonesia.


4.3 Peran dalam Perjuangan Kemerdekaan

K.H. Hasyim Asy‘ari berperan besar dalam perjuangan melawan penjajah melalui Resolusi Jihad tahun 1945. Dalam seruannya, beliau menyatakan bahwa membela tanah air dari penjajahan adalah kewajiban agama (jihad fi sabilillah).
Seruan ini membangkitkan semangat rakyat dan menjadi dasar perlawanan heroik seperti Pertempuran 10 November di Surabaya.


4.4 Keteladanan K.H. Hasyim Asy‘ari

Keteladanan beliau terletak pada:

Keikhlasan dan kesabaran dalam berdakwah,

Kecintaannya pada ilmu dan tanah air,

Keteguhannya dalam memegang prinsip syariat,

Dan kemampuannya memadukan agama dan nasionalisme secara seimbang.

Beliau menunjukkan bahwa menjadi muslim sejati berarti menjadi warga negara yang mencintai bangsanya dan berjuang untuk kemaslahatan umat.


Penutup: Meneladani Ulama untuk Kehidupan Modern

5.1 Nilai Keteladanan dari Ulama dan Walisongo

Dari kisah Walisongo dan K.H. Hasyim Asy‘ari, kita belajar tentang:

Keikhlasan dalam beramal,

Kecerdasan dalam berdakwah,

Kesabaran menghadapi tantangan,

Kecintaan terhadap ilmu dan bangsa,

Serta komitmen untuk menegakkan nilai-nilai Islam secara damai dan bijak.

Mereka tidak hanya menyebarkan Islam, tetapi juga membangun peradaban yang menghargai kemanusiaan dan keberagaman.


5.2 Relevansi Bagi Generasi Muda

Generasi muda masa kini perlu meneladani semangat juang dan keilmuan para ulama. Di era modern, meneladani mereka berarti:

Menjadi pelajar yang rajin dan berakhlak,

Menggunakan teknologi untuk dakwah dan pendidikan,

Menjaga persatuan bangsa,

Dan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang damai.


5.3 Kesimpulan

Ulama seperti Walisongo dan K.H. Hasyim Asy‘ari telah memberikan sumbangsih luar biasa dalam menyebarkan Islam di Indonesia dengan cara damai, bijak, dan berkeadilan.
Meneladani mereka berarti melanjutkan perjuangan dakwah yang menebar ilmu, kebaikan, dan cinta tanah air. Dengan semangat itu, kita dapat menjadi generasi penerus yang beriman, berilmu, berakhlak, dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan agama.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar